00.18
1




                   Ditemukannya sebuah tengkorak manusia di pantai anyer,Banten ujung pulau jawa barat bagian utara.kerangka manusia yang ditemukan ialah kerangka seorang yang terkena musibah pada tahun 1888,ketika itu terjadi gunung krakatau meletus dan yang menemukan kerangka tersebut adalah Halwany michrob seorang antropolog sejarah.Ia melakukan penggalian di sekitar anyerlor dengan tim yang diberi tema eksvakasi penyelamatan, semula penggalian tersebut untuk menyingkap peninggalan prasejarah.akan tetapi kerja yang dimulai pada 1 agustus 1996 tersebut hasilnya lain.Didepan kantor kecamatan anyer,hanya beberapa puluh meter dari garis pantai kerangka manusia tersebut ditemukan dalam posisi tengkurap pada kedalaman 1,2 m.Tangan kanannya tampak menangkup kepalanya yang terletak diantara dua karang seperti terjepit,sedangkan tangan kirinya memegangi perut.

                  "Itu jelas bukan penguburan islam yang biasanya kedua tangannya bersedekap,"tambah Halwany.Apalagi lapisan tanah tidak menunjukan bekas lubang penguburan,penduduk disitu memang bercerita bahwa banyak orang yang menemukan kerangka hewan maupun manusia ketika hendak membangun sebuah rumah.semua itu mengingatkan kita pada peristiwa 105 tahu silam,tatkala gelombang raksassa,yang banyak disebut orang sebagai gelombang tsunami,setinggi sekitar 40 meter mengempas pantai carita maupun anyer.Karang seberat ratusan ton pun terlempar kedarat bahkan kota kabupaten caringin pun lenyap ditelan ombak. Namun temuan di anyer bukan saja kerangka manusia tetapi di temukan juga manik-manik,mata uang belanda tahun 1880 dan juga ditemukannya bekas dapur yang isinya antara lain pecahan keramik cina akhir abad ke-18.temuan itu menurut kepala pusat penelitian arkeologi nasional,Dr.hasan muarif ambary, masih akan di uji di laboratorium di Jakarta.Setlah itu akan di simpan di musium krakatau.

                   Gunung yang terletak di selat sunda ini pernah meletus dahsyat pada 27 agustus 1883,yang suara letusannya terdengar sampai dengan kepulauan rodriguez yang berjarak 4653 km dari gunung ini dan terdengar sekitar 1/3 dari planet bumi ini.Abunya juga sampai ke Singapura yang terletak sejauh 840 km sebelah utara krakatau.Debu yang dilontarkan ke angkasa ini menutupi sinar matahari  dan mendinginkan bumi.Majalah National Geographic dari AS mencatat bahwa penurunan suhu bumi sampai dengan 1,2 derajat celcius satu tahun setelah letusan dan suhu kembali normal semenjak 5 tahun kemudian.Letusan krakatau yang menyemburkan ejekta yaitu debu dan batu apung ke angkasa sebesar 18 meter kubik merupakan nomor tiga di dunia dalam jumlah ejekta yang di semburkan ke atmosfer.yang pertama adalah gunung tambora,yang juga merupakan gunung api Indonesia yang pada tahun 1815 menyemburkan 80 km kubik ejekta. Letusan gunung tambora menyebabkan pendinginan bumi yang sangat jelas. Sehingga pada tahun 1816 di sebut "a year without summer"  di Amerika serikat.  

Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, tepat jam 10.20, meledaklah gunung itu. Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga penulis National Geographic mengatakan bahwa ledakan itu adalah yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia modern. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu. Menurut para peneliti di University of North Dakota, ledakan Krakatau bersama ledakan Gunung Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Indek (VEI) terbesar dalam sejarah modern. Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencavai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Langka, India, Pakistan, Australia dan Selendia Baru. Gelombang laut saat terjadinya meletus naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Seperti terjadi Tsunami di Aceh, ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut. Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai dari Merak (Serang) hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon) serta Sumatera Bagian selatan. Di Ujung Kulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari.




Pada tanggal 27 Agustus 1883, bertepatan dengan hari Minggu, dentuman pada pukul 10.02 terdengar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina, dan Jepang. Bencana yang merupakan salah satu letusan terhebat di dunia itu sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa manusia.
Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu kawah Perbuatan memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai ketinggian 11 km ke udara. Letusan ini walaupun terdengar sampai lebih dari 350 km (sampai Palembang), tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Pada letusan tanggal 27 Agustus itu bebatuan disemburkan setinggi 55.000 m dan gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih 163 desa. Abunya mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian. Kekuatan ledakan Krakatau ini diperkirakan 26 kali lebih besar dari ledakan bom hidrogen terkuat dalam percobaan.
Seorang pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang mendengar suara gemuruh yang tadinya dikira suara guntur di tempat jauh. Lewat pukul setengah tiga siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau, lebih-lebih sebab suara berasal dari arah barat laut-barat. Di Batavia gemuruh itu juga dapat didengar, demikian pula di Anyer. Di serang dan Bandung suara-suara itu mulai terdengar pukul tiga.
Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.
“Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh butiran-butiran es.“Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan, sehingga orangpun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa.”
“Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat pada gunung Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah beristirahat selama dua abad. Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba dengan cepat: ‘Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.’ Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer…”
Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan Lapangan Singa (Banteng) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya.”
krakatau lebih hebat dari bom atom
“Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng (Frederik Hendrik, sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam sebagai isyarat upacara, disusul dengan bunyi terompet yang mewajibkan semua prajurit masuk tangsi. Para penabuh genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada biasanya. Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet. Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang sebenarnya menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!”

1 komentar: